Totok Suharto

Totok Suharto

Rabu, 14 Agustus 2013

LEPET IBU



LEPET IBU

“De, msk lepet ga de, atu aja blh? he he….” Itu isi  sms yang terpaksa ku kirim kepada kakak misanku. Lalu rington hp  berbunyi. Byar layar hp terbuka “Besok ya masih  digodog!” aku merasa kecut menelan ludah. Ada penyesalan menyeruak. Sore jelang lebaran Kupat, kakakku yang terkenal loyal pada tradisi  juga belum siap hidangan ketupatnya. Berjuta palu memukul kepala. Penyesalan selalu tiba-tiba setelah peristiwa.


Lepet makanan  tradisional pasangan abadi dari kupat, di daerah kami kupat lepet adalah makanan khas lebaran hari ke tujuh setelah Idul Fitri. Terbuat dari beras ketan yang ditaburi kelapa parut kemudian  dibungkus janur kelapa dan direbus. Karena rasa yang nikmat dan adanya di saat lebaran ketujuh atau “Kupatan”. Membuat  aku terpaksa kirim sms itu kepada kakak misanan.  Karena rinduku pada makanan ini. Karena istriku tak bisa memenuhi hasratku pada lepet, padahal dua puluh lima tahun aku berumah tangga dengannya tetapi tak pernah sebijipun isteriku membuatnya, tidak bisa membuatnya, susah membungkusnya, katanya klise.

Baru terasa betapa besar keberadaan ibu kami. Setiap Kupatan datang satu atau dua hari sebelumnya ibu pasti mengajak anak dan menantunya membuat lepet, ibu mengajari kami cara membuat lepet, tangannya yang rapuh sangat lincah mengaduk adonan beras ketan dan kelapa parut, lentik jemari yang makin nampak kerut-kerut ketuaannya masih nampak terampil mengikat daun-daun kelapa muda dengan tali bambu yang diraut kecil. Ibu penuh semangat memberi contoh membuat lepet, kadang memegang tangan kami menuntun bagaimana cara  mengisi selongsong lepet, bagaimana mengikatnya, dan bagaimana membuat lepet yang enak dan gurih.

Letusan petasan anak tetangga mengejutkanku, baru terasa ada air hangat di pelupuk mata, maka tanpa sadar air mata itu meleleh. Antara menyesal mengirim sms kakak sepupu dan mencari makna keteladan ibu menjadi satu. Mengapa isteriku selalu bilang tidak bisa membuat lepet sendiri kala lebaran tiba. Sebagai kepala keluarga aku  tak bisa memaksa isteri untuk membuat lepet sendiri. Ibu, tidak hanya memberikan nasihatnya saja yang selalu deras meluncur bagai lesatan anak panah srikandi. Ya ibu kadang kuanalogikan sebagai srikandi, ibu selalu memberi contoh. Ya ibu tak kurang memberi contoh tetapi dari ke sembilan anak ibu termasuk menantu-menantunya tidak ada yang mewarisi keterampilan ibu membuat lepet. Termasuk isteriku.

“Wanita harus bisa memasak semua yang diinginkan suami, ya harus belajar, jika tidak bisa” teringiang lagi suara ibu,”Jangan hanya mengandalkan jasa katering, dikit-dikit pesan, dikit-dikit pesan”cerocos ibu. Tangan tuanya makin lincah meramu rempah-rempah. “Ulegkan ini, laki-laki tak salah menguleg bumbu”. Kata ibu menyuruhku. Dengan hati-hati kupegang ulegan dan cobek. Aku mulai melakukan apa yang diperintah ibu. Ibu masih berbicara, kulirik ibu, tangannya masih bekerja, mulutnya mengeluarkan kalimat yang kadang pedas mengiris-iris, seperti tangannya yang tanpa henti mengiris lombok merah “Kalau isterimu tidak mau memasak sendiri, apa tugas dia sebenarnya?” Aku diam, “Ini sudah Bu?” ucapku. Ibu melirik, “Haluskan lagi. Harus betul-betul lembut!” pintanya. “Berapa gaji kamu sebulan. Anak-anak akan merasa kenyang jika memakan makanan yang dimasak oleh ibunya, karena tangan seorang ibu ketika memasak di tangannya ada cinta, ada kasih!” Ibu menembaki aku dengan peluru-peluru tepat ke ulu hati. Dalam hati aku setuju dengan pendapatnya. Aku manggut-manggut setuju, “Laki-laki kok lembek tidak bisa menyuruh isteri” Dueeer aku tersentak. Kembali ribuan anak panahnya menancap di jantungku, aku tergagap. Ibu menepuk bahuku dengan kasih. Tidak tahu apakah sebagai tanda penyesalannya.

Pagi harinya di meja makan aku mendapati seikat ketupat dan lepet lengkap dengan opor ayam serta sambal gorengnya. Isteriku  merajang ketupat untuk disajikan sebagai sarapan kami.  Anak-anak berebut ceker ayam kesukaannya. Aku memandangi tapi tak kuasa melerai, ribuan genta mahaberat memusingkan kepala. Ingin mencicipi opor kesukaan rasanya perut malah mual. Kulirik isteri, dia tak mengerti air bah yang kusimpan pada bola mata. Kekurangpekaan isteriku menambah perut terasa diudek-udek. Aku larut dalam pusaran ketidaknyamanan menatap makanan. Aku meninggalkan meja makan, meninggalkan anak-anak yang berebut potongan daging ayam. Kusulut rokok yang tersisa dari di meja tamu semalam. Meski tak ada kenikmatan yang kurasa dari setiap hisapannya, aku tetap menghisap rokok yang ditinggalkan empunya. Aku mencoba mencari ketenangan dari hisapan demi hisapan walau akhirnya tidak kudapatkan sama sekali. Aku bukan perokok, lebih baik uang rokok kubelikan susu anak-anakku, pikirku saat aku memutuskan untuk tidak menjadi perokok. Beberapa kali terbukti rokok tidak dapat diajak menentramkan perasaan. Akhirnya dengan malu aku kembali ke meja makan untuk menyantap sebiji lepet ibu dan ternyata lebih menentramkan hati, betul kata ibu bahwa maskan seorang ibu ada cinta di dalamnya.

Adzan Isyak berhenti, esok Kupatan, ada suara petasan di jauh sana, suara pengiring barongan tiba-tiba datang meningkahi suara anak-anak bermain petasan, berkelindan potongan-potongan kenangan saat Kupatan masa kecilku, kala itu semua serba ada, dari ketupat dan lepet lengkap opor ayamnya sampai tiket kereta api tujuan Rembang tersedia untuk berwisata. Suara musik barongan dengan barongannya atraktif berkeliling kampung meminta sumbangan untuk peringatan hari Kemerdekaan membuyarkan kenangan masa kecil. Kubuka tutup saji di meja makan tak kutemui sajian ketupat dan pelengkapnya. Aku menengadah, bergumam-dari tahun ke tahun selalu sama. Tidak ada masakan untuk menyambut hari raya kupatan. “Sekarang harga lepet dua puluh lima ribu per sepuluh bijinya. Uangnya habis untuk bayar edaran halal bihalal RT siang tadi, saat ini saja, mau memberi sumbangan tujuh belasan pun sudah tak ada uang sisa”. ucap isteriku tiba-tiba. Aku tercekat, tenggorokanku terasa dicekik, mataku mendelik, melotot pada meja makan. Tak kusangka jawabannya demikan dahsyat meluluhlantakkan sendi-sendi kakiku. Bukan seperti jawaban saat dulu kuminta memasak ketupat dan lepet yang selalu dijawab tak bisa memasaknya.

Tiba-tiba aku ingat ibu. Andai ibu masih ada pasti memasak ketupat-lepet untukku. Tentu aku kan bersujud di kakinya sambil membisikkan aku dan menantumu bukannya malas memasaknya tapi kami terpaksa tak membuatnya karena tak ada dana. “Maaf Ibu” bisikku sendu. Suara musik barongan makin menjauh. Anak-anak mengencangkan volume tv. Mereka sudah dewasa makin tahu cara mengalihkan ketidaknyamanan mendengar suara kami menghitung-hitung kekurangan belanja. Hp berbunyi lagi. Aku makin menyesali melibatkan soudara sepupu untuk meminta berbagi lepet. Aku belum dewasa.

Kudus, 7 Syawal 1434 H

1 komentar: