LEPET IBU
Lepet makanan tradisional pasangan abadi dari kupat, di
daerah kami kupat lepet adalah makanan khas lebaran hari ke tujuh setelah Idul
Fitri. Terbuat dari beras ketan yang ditaburi kelapa parut kemudian dibungkus janur kelapa dan direbus. Karena
rasa yang nikmat dan adanya di saat lebaran ketujuh atau “Kupatan”.
Membuat aku terpaksa kirim sms itu
kepada kakak misanan. Karena rinduku pada makanan
ini. Karena istriku tak bisa memenuhi hasratku pada lepet, padahal dua puluh
lima tahun aku berumah tangga dengannya tetapi tak pernah sebijipun isteriku
membuatnya, tidak bisa membuatnya, susah membungkusnya, katanya klise.
Baru terasa betapa besar
keberadaan ibu kami. Setiap Kupatan datang satu atau dua hari sebelumnya ibu
pasti mengajak anak dan menantunya membuat lepet, ibu mengajari kami cara
membuat lepet, tangannya yang rapuh sangat lincah mengaduk adonan beras ketan
dan kelapa parut, lentik jemari yang makin nampak kerut-kerut ketuaannya masih nampak
terampil mengikat daun-daun kelapa muda dengan tali bambu yang diraut kecil.
Ibu penuh semangat memberi contoh membuat lepet, kadang memegang tangan kami
menuntun bagaimana cara mengisi selongsong
lepet, bagaimana mengikatnya, dan bagaimana membuat lepet yang enak dan gurih.
Letusan petasan anak tetangga
mengejutkanku, baru terasa ada air hangat di pelupuk mata, maka tanpa sadar air
mata itu meleleh. Antara menyesal mengirim sms kakak sepupu dan mencari makna
keteladan ibu menjadi satu. Mengapa isteriku selalu bilang tidak bisa membuat
lepet sendiri kala lebaran tiba. Sebagai kepala keluarga aku tak bisa memaksa isteri untuk membuat lepet
sendiri. Ibu, tidak hanya memberikan nasihatnya saja yang selalu deras meluncur bagai
lesatan anak panah srikandi. Ya ibu kadang kuanalogikan sebagai srikandi, ibu selalu
memberi contoh. Ya ibu tak kurang memberi contoh tetapi dari ke sembilan anak
ibu termasuk menantu-menantunya tidak ada yang mewarisi keterampilan ibu
membuat lepet. Termasuk isteriku.
“Wanita harus bisa memasak semua
yang diinginkan suami, ya harus belajar, jika tidak bisa” teringiang lagi suara
ibu,”Jangan hanya mengandalkan jasa katering, dikit-dikit pesan, dikit-dikit
pesan”cerocos ibu. Tangan tuanya makin lincah meramu rempah-rempah. “Ulegkan
ini, laki-laki tak salah menguleg bumbu”. Kata ibu menyuruhku. Dengan hati-hati
kupegang ulegan dan cobek. Aku mulai melakukan apa yang diperintah ibu. Ibu
masih berbicara, kulirik ibu, tangannya masih bekerja, mulutnya mengeluarkan
kalimat yang kadang pedas mengiris-iris, seperti tangannya yang tanpa henti
mengiris lombok merah “Kalau isterimu tidak mau memasak sendiri, apa tugas dia
sebenarnya?” Aku diam, “Ini sudah Bu?” ucapku. Ibu melirik, “Haluskan lagi.
Harus betul-betul lembut!” pintanya. “Berapa gaji kamu sebulan. Anak-anak akan
merasa kenyang jika memakan makanan yang dimasak oleh ibunya, karena tangan seorang
ibu ketika memasak di tangannya ada cinta, ada kasih!” Ibu menembaki aku dengan
peluru-peluru tepat ke ulu hati. Dalam hati aku setuju dengan pendapatnya. Aku
manggut-manggut setuju, “Laki-laki kok lembek tidak bisa menyuruh isteri”
Dueeer aku tersentak. Kembali ribuan anak panahnya menancap di jantungku, aku
tergagap. Ibu menepuk bahuku dengan kasih. Tidak tahu apakah sebagai tanda
penyesalannya.
Pagi harinya di meja makan aku
mendapati seikat ketupat dan lepet lengkap dengan opor ayam serta sambal
gorengnya. Isteriku merajang ketupat
untuk disajikan sebagai sarapan kami. Anak-anak
berebut ceker ayam kesukaannya. Aku memandangi tapi tak kuasa melerai, ribuan
genta mahaberat memusingkan kepala. Ingin mencicipi opor kesukaan rasanya perut
malah mual. Kulirik isteri, dia tak mengerti air bah yang kusimpan pada bola
mata. Kekurangpekaan isteriku menambah perut terasa diudek-udek. Aku larut
dalam pusaran ketidaknyamanan menatap makanan. Aku meninggalkan meja makan,
meninggalkan anak-anak yang berebut potongan daging ayam. Kusulut rokok yang
tersisa dari di meja tamu semalam. Meski tak ada kenikmatan yang kurasa dari setiap
hisapannya, aku tetap menghisap rokok yang ditinggalkan empunya. Aku mencoba
mencari ketenangan dari hisapan demi hisapan walau akhirnya tidak kudapatkan
sama sekali. Aku bukan perokok, lebih baik uang rokok kubelikan susu anak-anakku, pikirku saat aku memutuskan untuk tidak menjadi perokok. Beberapa kali terbukti rokok tidak dapat diajak menentramkan perasaan. Akhirnya dengan malu aku kembali ke meja makan untuk menyantap sebiji lepet ibu dan ternyata lebih menentramkan hati, betul kata ibu
bahwa maskan seorang ibu ada cinta di dalamnya.
Adzan Isyak berhenti, esok
Kupatan, ada suara petasan di jauh sana, suara pengiring barongan tiba-tiba
datang meningkahi suara anak-anak bermain petasan, berkelindan
potongan-potongan kenangan saat Kupatan masa kecilku, kala itu semua serba ada,
dari ketupat dan lepet lengkap opor ayamnya sampai tiket kereta api tujuan Rembang tersedia untuk berwisata. Suara musik barongan dengan barongannya
atraktif berkeliling kampung meminta sumbangan untuk peringatan hari
Kemerdekaan membuyarkan kenangan masa kecil. Kubuka tutup saji di meja
makan tak kutemui sajian ketupat dan pelengkapnya. Aku menengadah,
bergumam-dari tahun ke tahun selalu sama. Tidak ada masakan untuk menyambut
hari raya kupatan. “Sekarang harga lepet dua puluh lima ribu per sepuluh
bijinya. Uangnya habis untuk bayar edaran halal bihalal RT siang tadi, saat ini saja, mau memberi sumbangan tujuh belasan pun sudah tak ada uang sisa”. ucap
isteriku tiba-tiba. Aku tercekat, tenggorokanku terasa dicekik, mataku
mendelik, melotot pada meja makan. Tak kusangka jawabannya demikan dahsyat
meluluhlantakkan sendi-sendi kakiku. Bukan seperti jawaban saat dulu kuminta
memasak ketupat dan lepet yang selalu dijawab tak bisa memasaknya.
Tiba-tiba aku ingat ibu. Andai
ibu masih ada pasti memasak ketupat-lepet untukku. Tentu aku kan bersujud di
kakinya sambil membisikkan aku dan menantumu bukannya malas memasaknya tapi
kami terpaksa tak membuatnya karena tak ada dana. “Maaf Ibu” bisikku sendu.
Suara musik barongan makin menjauh. Anak-anak mengencangkan volume tv. Mereka
sudah dewasa makin tahu cara mengalihkan ketidaknyamanan mendengar suara kami
menghitung-hitung kekurangan belanja. Hp berbunyi lagi. Aku makin menyesali
melibatkan soudara sepupu untuk meminta berbagi lepet. Aku belum dewasa.
Kudus, 7 Syawal 1434 H
jadi ingat ibu.......dia adalah pilar hidupku,
BalasHapus