Alina menatap lepas laut Jepara.
Riak air berkilau, laut bertabur permata, cahayanya berpendar ke bola matanya. Air
laut menyentuh permukaan kulit kakinya. Angin yang menyapa pada kerudung
menghentak lamunannya. Alina mengumpulkan butir pasir untuk dibentuk menjadi
bangunan sesuai keinginannya, Alina bekerja keras, tapi gundukan pasir yang
dibentuk sebuah bangunan belum rampung itu
sudah dihantam air laut yang menyejukkan
kedua kakinya yang putih. Alina tak putus asa, dikumpulkan lagi pasir, seperti
dia mengumpulkan puing cita-cita yang sejak kecil diangankan ternyata tak mudah
diwujudkanya, sesulit dia membangun istana pasir di depannya. dia ingin
mewujudkan cita-citanya membangun masa depan, Alina
bergeming. Laut masih biru. Matahari masih hangat menyapa, dan sekawan burung
camar menambah keanggunan senja di pantai Jepara…
“Maaf tidak ada lowongan.” Alina
melangkah lagi. Sudah berpuluh perusahaan yang pintunya bertulis begitu, atau
satpam menghardik karena tidak ada lowongan.
“Apa bisa di posisi marketing?”
tanya Pak Marwan dalam suatu wawancara perekrutan karyawan sebuah mini market.
“Saya bisa bekerja apa saja, tapi
di sini saya ingin yang sesuai keahlian dan ijazah.”
“Wah, maaf. Kami hanya
membutuhkan keahlian bidang marketing. Anda tertarik?”
“Mengapa di pengumuman ditulis
butuh sekretaris? juga staf public releation?” Alina mencoba mencari kebenaran
isi pengumuman.
“Oh…yang itu sudah diisi.” Alina tersentak dengan jawaban seorang staf
HRD yang tidak professional. “Perusahaan begini apa bisa maju kalau perekrutan
tenaga tidak transparan?” Keluhnya dalam hati.
“Baik Mbak. Kalau tidak bersedia
di marketing, ini kartu nama saya barangkali nanti Anda berubah pikiran. Anda
potensial.” Imbuhnya dengan memuji. “ Selamat siang!”
Suara sekelompok nelayan
membuyarkan ingatan wawancara siang tadi. Deru angin menggoyang layar perahu. Alina oleng teringat
adik-adiknya butuh biaya. Batinnya terombang-ambing antara diterima atau tidak
tawaran pekerjaan. Pekerjaan yang tidak sesuai bidang yang dipelajari di bangku
kuliah. Alina menimbang, antara idialisme dan kebutuhan dompet, Alina bimbang.
Langit lambat laut berganti warna lembayung indah, perahu yang tadi
mengagetkannya makin jauh mencari nafkah. Alina tersenyum...