Totok Suharto

Totok Suharto

Jumat, 06 Juli 2012

Handphone

*foto dari sini

Bangunan sekolah berasitektur kolonial itu, dulunya sekolah Belanda. Memang tidak semua bangunannya adalah kuno, seperti kelas yang aku tempati mengajar saat ini. Ah, dulu waktu aku kecil bangunan bertingkat belum ada, kesan angker tercipta. Jendela tua yang besar selalu berderit manakala angin menegurnya membuat jantung berdegup kencang. Saat itu sambil tolah-toleh kiri-kanan kulepas sandal agar bisa lari sejauhnya untuk menghindar dari angkernya bangunan peninggalan penjajah. Terpaksa kubatalkan nonton pameran di sekolah itu.
         Nada sambung tiba-tiba masuk ke kelas tanpa permisi. Buyar sudah bayangan masa silam. Murid lelakiku ketahuan pegang Hp oleh mataku sendiri. Kadang aku memaklumi dengan teknologi yang satu ini, sedikit toleran.
            “Ayo! Hp siapa itu?” tanyaku sambil tersenyum.
            “Hutomo Pak, Tomo!” teriak anak-anak perempuan seperti koor.
Hutomo murid yang satu ini seolah minta diperhatikan khusus. Pandangan matanya datar seperti tak bersalah. Semestinya anak ini pintar, hanya tak punya kepribadian. Wajahnya ganteng, kulit bersih. Namun sayang kepala batu, seharusnya banyak anak perempuan simpatik padanya.
“Sita Hp-nya Pak!”celutuk Banu, murid yang biasa sahabatan dengan Hutomo.
Tomo mulai khawatir, seperti sedang menyusun strategi menghadapi lawannya. Ia berusaha menghindar dari tatapan mataku, tiba-tiba nada sambung berbunyi lagi dari sakunya. Aku mendekati tempatnya duduk.
“Nada sambung yang indah” kataku
“Biar ga bosan, Pak! Kan anak gaul.” Jawabnya sambil cengengesan dengan santai, wajahnya tak menunjukkan kesalahan.
“Anak gaul atau gauli anak? Ha…ha…ha” Sahut murid laki-laki lain diikuti ketawa anak-anak yang lain.
“Coba lihat. Bapak mau lihat!” desakku        
Tomo menghindar. Tapi tanganku keburu hinggap di saku celana biru tuanya.                     “Itu bukan Hp-ku Pak!”
“Betul! Ini bukan Hp-mu?” kataku sambil menunjukkan Hp Nokia seri terbaru.
“Anu-anu Pa! tukar pakai sama Hp teman.”jawab Tomo gelagapan
Tanpa banyak omong kurampas Hp-nya, setelah terjadi sedikit ketegangan di dalam kelas.   
“Astagfirullah…!!!,Tomo!” teriakku, ketika kulihat Hp yang sedang memutar gambar tak senonoh.
Kelas yang semula sudah bising karena pekerjaan pelebaran jalan Menur di belakang mereka, menjadi  semakin ramai. Seisi kelas kegerahan, matahari pada puncak kemarahan. Suara begu di luar berebut kedalam saling beradu dengan suara anak-anak. Orang-orangtua mereka memang sangat mampu membelikan HP keluaran terbaru. Kesombongan terjadi pada mereka yang membawa Hp karena mereka tak mematuhi aturan sekolah, semua terkena getahnya, semua Hp harus dikumpulkan. Mereka tak berfikir sebentar lagi ujian karena sudah kelas IX. Pelajaran tertunda sementara.
“Jelas-jelas aturan tak boleh siswa membawa HP berkamera dan berisi vedio porno. Mengapa kau langgar aturan itu?” kataku dengan suara tegas.
“Tidak! Itu fitnah. Itu bukan HP-ku, siapapun orangnya yang cari gara-gara akan kulawan. Tak peduli dia anak jendral sekalipun” sahut Tomo, meradang
“Ini fitnah? Ini kau katakan fitnah?” Kataku sambil menunjuk ke sakuku sendiri tempatnya Hp kusimpan, karena aku tak tega membiarkan Hp menjadi tontonan anak-anak yang lain.
“Hp itu dibeli orangtuamu karena kamu perlu alat komunikasi. Sehingga kamu tak repot ketika pukul berapa kamu minta dijemput. Dan kamu leluasa menghubungi siapapun yang kau kehendaki. Kasihan kan orangtua, hasil kerjanya kau kotori dengan perbuatanmu”
Angin seperti tak mau bergerak. Kelas semakin gaduh, aku berusaha menenangkan anak-anak
“Jika diingat-ingat kejadian di kelasku sudah beberapa kali terjadi, setiap ketahuan selalu berjanji tak akan diulangi.” aku berkata dalam diriku sendiri. “Tetapi Itu hanya sebatas SMS-an atau main game” kataku dalam hati.
“Ah, kapan sih anak didikku tidak bandel? Kudengar Bianto anak bandel itu sudah jadi bintara polisi” dan hatiku berkata,”Moga-moga Hutomo yang lebih bandel kelak menjadi Jendral, setidaknya menjadi orang yang berguna.”Berapa usiamu sekarang, Tom? Tadi kutanya tak kau jawab.”
Hutomo memandang kearahku. Dari sudut matanya ada penyesalan, namun berusaha ditutupi karena gengsi leleki yang beranjak remaja.
“Itu bukan Hp-ku Pak!” nada suaranya meninggi
 “Sudah keluar saja pergilah ke BK!” gertakku hampir lepas kendali amarahku.
“Hutomo, sebagai anak yang pandai tentu kau tahu, apa yang harus dilakukan jika terjadi masalah? Apalagi kau ketua kelas, bapak yakin kau pasti gentleman” ucapku sambil membangkitkan naluri kelakiannya. “karena aku tahu dia masih punya sedikit sifat satria apalagi kuucapkan itu di depan teman-teman perempuannya”.pikirku.
Hutomo berdiri dari tempat duduknya. Kakinya menendang meja, gerakan tubuhnya tidak membuat teman-temannya simpatik
Matahari tepat di atas kepala, lelah menyatu dengan keringat, kucoba mengusap peluh di wajah. Namun tatkala kulihat anak didik yang berlaku kurang sopan aku hanya mengelus dada.
Hutomo melangkah keluar ke arah BK dengan tanpa beban. Kelas menjadi gaduh. Anak-anak berkomentar tentang kejadian barusan.
Teknologi yang berkembang pesat saat ini memang tak dapat dibendung. Kejahatan moral, fiture asusila yang disediakan Hp meracuni penggunanya. fasilitas Hp yang diberikan orangtua harusmya untuk komunikasi. Jadi gunakan Hp-mu sebagaimana mestinya saja.
Kudus, November 2008



Tidak ada komentar:

Posting Komentar