Totok Suharto

Totok Suharto

Jumat, 06 Juli 2012

Handphone

*foto dari sini

Bangunan sekolah berasitektur kolonial itu, dulunya sekolah Belanda. Memang tidak semua bangunannya adalah kuno, seperti kelas yang aku tempati mengajar saat ini. Ah, dulu waktu aku kecil bangunan bertingkat belum ada, kesan angker tercipta. Jendela tua yang besar selalu berderit manakala angin menegurnya membuat jantung berdegup kencang. Saat itu sambil tolah-toleh kiri-kanan kulepas sandal agar bisa lari sejauhnya untuk menghindar dari angkernya bangunan peninggalan penjajah. Terpaksa kubatalkan nonton pameran di sekolah itu.
         Nada sambung tiba-tiba masuk ke kelas tanpa permisi. Buyar sudah bayangan masa silam. Murid lelakiku ketahuan pegang Hp oleh mataku sendiri. Kadang aku memaklumi dengan teknologi yang satu ini, sedikit toleran.
            “Ayo! Hp siapa itu?” tanyaku sambil tersenyum.
            “Hutomo Pak, Tomo!” teriak anak-anak perempuan seperti koor.
Hutomo murid yang satu ini seolah minta diperhatikan khusus. Pandangan matanya datar seperti tak bersalah. Semestinya anak ini pintar, hanya tak punya kepribadian. Wajahnya ganteng, kulit bersih. Namun sayang kepala batu, seharusnya banyak anak perempuan simpatik padanya.
“Sita Hp-nya Pak!”celutuk Banu, murid yang biasa sahabatan dengan Hutomo.
Tomo mulai khawatir, seperti sedang menyusun strategi menghadapi lawannya. Ia berusaha menghindar dari tatapan mataku, tiba-tiba nada sambung berbunyi lagi dari sakunya. Aku mendekati tempatnya duduk.
“Nada sambung yang indah” kataku
“Biar ga bosan, Pak! Kan anak gaul.” Jawabnya sambil cengengesan dengan santai, wajahnya tak menunjukkan kesalahan.
“Anak gaul atau gauli anak? Ha…ha…ha” Sahut murid laki-laki lain diikuti ketawa anak-anak yang lain.
“Coba lihat. Bapak mau lihat!” desakku        
Tomo menghindar. Tapi tanganku keburu hinggap di saku celana biru tuanya.                     “Itu bukan Hp-ku Pak!”
“Betul! Ini bukan Hp-mu?” kataku sambil menunjukkan Hp Nokia seri terbaru.
“Anu-anu Pa! tukar pakai sama Hp teman.”jawab Tomo gelagapan
Tanpa banyak omong kurampas Hp-nya, setelah terjadi sedikit ketegangan di dalam kelas.   
“Astagfirullah…!!!,Tomo!” teriakku, ketika kulihat Hp yang sedang memutar gambar tak senonoh.
Kelas yang semula sudah bising karena pekerjaan pelebaran jalan Menur di belakang mereka, menjadi  semakin ramai. Seisi kelas kegerahan, matahari pada puncak kemarahan. Suara begu di luar berebut kedalam saling beradu dengan suara anak-anak. Orang-orangtua mereka memang sangat mampu membelikan HP keluaran terbaru. Kesombongan terjadi pada mereka yang membawa Hp karena mereka tak mematuhi aturan sekolah, semua terkena getahnya, semua Hp harus dikumpulkan. Mereka tak berfikir sebentar lagi ujian karena sudah kelas IX. Pelajaran tertunda sementara.
“Jelas-jelas aturan tak boleh siswa membawa HP berkamera dan berisi vedio porno. Mengapa kau langgar aturan itu?” kataku dengan suara tegas.
“Tidak! Itu fitnah. Itu bukan HP-ku, siapapun orangnya yang cari gara-gara akan kulawan. Tak peduli dia anak jendral sekalipun” sahut Tomo, meradang
“Ini fitnah? Ini kau katakan fitnah?” Kataku sambil menunjuk ke sakuku sendiri tempatnya Hp kusimpan, karena aku tak tega membiarkan Hp menjadi tontonan anak-anak yang lain.
“Hp itu dibeli orangtuamu karena kamu perlu alat komunikasi. Sehingga kamu tak repot ketika pukul berapa kamu minta dijemput. Dan kamu leluasa menghubungi siapapun yang kau kehendaki. Kasihan kan orangtua, hasil kerjanya kau kotori dengan perbuatanmu”
Angin seperti tak mau bergerak. Kelas semakin gaduh, aku berusaha menenangkan anak-anak
“Jika diingat-ingat kejadian di kelasku sudah beberapa kali terjadi, setiap ketahuan selalu berjanji tak akan diulangi.” aku berkata dalam diriku sendiri. “Tetapi Itu hanya sebatas SMS-an atau main game” kataku dalam hati.
“Ah, kapan sih anak didikku tidak bandel? Kudengar Bianto anak bandel itu sudah jadi bintara polisi” dan hatiku berkata,”Moga-moga Hutomo yang lebih bandel kelak menjadi Jendral, setidaknya menjadi orang yang berguna.”Berapa usiamu sekarang, Tom? Tadi kutanya tak kau jawab.”
Hutomo memandang kearahku. Dari sudut matanya ada penyesalan, namun berusaha ditutupi karena gengsi leleki yang beranjak remaja.
“Itu bukan Hp-ku Pak!” nada suaranya meninggi
 “Sudah keluar saja pergilah ke BK!” gertakku hampir lepas kendali amarahku.
“Hutomo, sebagai anak yang pandai tentu kau tahu, apa yang harus dilakukan jika terjadi masalah? Apalagi kau ketua kelas, bapak yakin kau pasti gentleman” ucapku sambil membangkitkan naluri kelakiannya. “karena aku tahu dia masih punya sedikit sifat satria apalagi kuucapkan itu di depan teman-teman perempuannya”.pikirku.
Hutomo berdiri dari tempat duduknya. Kakinya menendang meja, gerakan tubuhnya tidak membuat teman-temannya simpatik
Matahari tepat di atas kepala, lelah menyatu dengan keringat, kucoba mengusap peluh di wajah. Namun tatkala kulihat anak didik yang berlaku kurang sopan aku hanya mengelus dada.
Hutomo melangkah keluar ke arah BK dengan tanpa beban. Kelas menjadi gaduh. Anak-anak berkomentar tentang kejadian barusan.
Teknologi yang berkembang pesat saat ini memang tak dapat dibendung. Kejahatan moral, fiture asusila yang disediakan Hp meracuni penggunanya. fasilitas Hp yang diberikan orangtua harusmya untuk komunikasi. Jadi gunakan Hp-mu sebagaimana mestinya saja.
Kudus, November 2008



Kamis, 05 Juli 2012

Lylia

Bunga lylia merah, mengingatkan kisah cinta abadi Laura Laurento dan Don Gonzalo dalam drama "Pagi Bening"

Proposal PTK

A.  Judul Penelitian Tindakan Kelas
Peningkatan Kemampuan Berbicara yang Efektif dan Santun Melalui Telepon dengan Pendekatan Pembelajaran Kooperatif Metode Bermain Peran di Kelas VII C SMP 2 Kudus  Semester II Tahun Pelajaran 2011/2012
B.  Mata Pelajaran        : Bahasa Indonesia
Bidang Kajian        : Keterampialan Berbicara Bertelepon
C.  Pendahuluan
Kehidupan anak-anak dewasa ini semakin mencemaskan. Mereka diperdaya telivisi, melalui tayangan-tayangan yang berorientasi pada bisnis. Anak-anak dijejali tayangan yang membingungkan antara penggunaan bahasa di televisi dan materi bahasa di sekolah sangatlah berbeda.
Penggunaan bahasa bertutur pada anak-anak pun terpengaruh bahasa yang digunakan para pembawa acara (host) di TV. “Makasi” untuk menyebut kata terima kasih, “Yo-i” untuk mengiyakan, “di-iket” untuk penyebutan diikat, dan sebagainya. Pemakaian bahasa dialek daerah juga mewarnai bahasa verbal mereka seperti; loe, gue, dan sebagainya. Belum lagi bahasa prokem atau bahasa gaul, yang membuat bahasa lisan anak-anak semakin amburadul.
Tata Krama dan  Tata Tertib  Kehidupan sosial di sekolah mengalami erosi. Ini terlihat dari pudarnya budi pekerti sebagai sikap dan perbuatan lahiriah warga bangsa pada umumnya dan generasi muda pada khususnya. Sudah jamak anak-anak memanggil bapak/ibu guru mereka dengan pilihan kata yang tidak tepat; misalnya kamu, karena kata “kamu” kuarang sopan jika dibandingkan dengan kata sapaan bapak atau ibu. Begitu juga banyak anak-anak memakai kata sapaan “Anda” untuk menyapa bapak/ibu guru mereka.
Pembicaraan melalui media telepon pada anak-anak juga memprihatinkan. Bahasa verbal mereka kurang tertata dari segi tata bahasa, keruntutan berbicara, kalimatnya tidak efektif dan pilihan kata yang tak terkontrol, juga kesantunan berbahasa. Apa lagi bila lawan bicara mereka adalah teman sebaya, barangkali bagi mereka kecermatan berbahasa tidaklah penting, yang penting mereka bisa berkomunikasi. Dalam berkomunikasi kepada orang yang lebih tua, mereka tidak memperhitungkan dengan siapa mereka bertelepon sehingga pemakaian kata sapaan terjadi ketidaktepatan.
Namun harus diakui secara jujur, pendididkan karakter yang dimasukkan/ disisipkan pada setiap kompetensi dasar (KD) di SMP 2 Kudus khususnya belum sesuai dengan yang diharapkan. Kondisi ini tidak lepas dari proses pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah yang dinilai telah gagal karena siswa berfikir dan berbahasa sekaligus.
Demikian juga keterampilan berbicara siswa kelas VII C SMP 2 Kudus. Berdasarkan dari pengamatan hanya 20 % dari jumlah 26 siswa yang dinilai sudah terampil berbicara dalam situasi formal di depan kelas. Indikator yang digunakan untuk mengukur keterampilan siswa dalam berbicara adalah kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata, kesantunan berbahasa, dan kelogisan (penalaran),
Paling tidak ada dua faktor mempengaruhi rendahnya keterampilan berbicara pada siswa. Pertama, faktor eksternal yaitu pengaruh penggunaan bahasa Indonesia di lingkungan keluarga dan masyarakat. Dalam proses komunikasi sehari-hari, banyak keluarga yang menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah)  sebagai bahasa percakapan di lingkungan keluarga. Begitu juga penggunaan bahasa Indonesia di tengah-tengah masyarakat, termasuk pula dari beberapa media, terutama televisi. Akibatnya siswa tidak terbiasa untuk berbahasa Indonesia sesuai dengan konteks dan situasi tutur.
Dari faktor internal, yaitu pendekatan pembelajaran, metode, media, atau sumber pembelajaran yang digunakan oleh guru memlliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat keterampilan berbicara bagi siswa SMP. Pada umumnya, guru bahasa Indonesia menggunakan pendekatan yang konvesional dan miskin inovasi sehingga kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara berlangsung monoton dan membosankan. Guru di kelas hanya menjelaskan teori-teori tentang berbicara. Akibatnya keterampilan berbicara yang dimiliki siswa hanya sekedar melekat pada diri siswa sebagai sesuatu yang rasional dan kognetif tidak menyatu dengan emosional dan afektif. Ini artinya, rendahnya keterampilan berbicara bisa menjadi hambatan serius  bagi siswa untuk menjadi siswa yang cerdas, kritis, kreatif, dan berbudaya.
Jika kondisi pembelajaran semacam itu terus dibiarkan akan berakibat keterampilan berbicara di kalangan siswa SMP akan terus berada pada aras yang rendah. Siswa akan terus menerus mengalami kesulitan dalam mengekspresikan pikiran dan perasaannya secara lancar, memilih kata yang tidak tepat, kalimat tidak efektif, tidak masuk nalar dan tidak berani menatap mata lawan bicaranya.
Pembelajaran keterampilan berbicara agar tidak semakin terpuruk pada tataran rendah, diperlukan pendekatan pembelajaran yang inovasi dan kreatif. Siswa diberikan pembelajaran yang aktif, efektif, dan kognetif, diajak untuk belajar keterampilan berbicara dengan bahasa yang rasional, juga diajak untuk belajar dan berlatih dalam konteks dan situasi tutur yang sesungguhnya dalam suasana yang dialogis, interaktif, menarik, dan menyenangkan. Dengan cara demikian, siswa tidak berada dalam pembelajaran yang kaku dan membosankan. Pembelajaran keterampilan berbicara menjadi pembelajaran yang dirindukan oleh siswa.
Penelitian ini akan difokuskan pada upaya mengatasi foktor internal yang diduga menjadi penyebab rendahnya kemampuan berbicara siswa kelas VII C SMP 2 Kudus yaitu kurangnya inovasi dan kreativitas guru dalam menggunakan pendekatan pembelajaran. Salah satu pendekatan yang diduga mampu mewujudkan situasi kondusif; aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan adalah pendekatan pembelajaran kooperatif bermain peran. Melalui pendekatan kooperatif bermain peran, siswa diajak untuk berbicara dalam konteks dan situasi tutur yang nyata dengan prinsip pemakaian bahasa yang komprehensif. Artinya siswa diajak bersosial, dilatih untuk menyampaikan pendapat pikirannya untuk disampakain pada orang lain (teman). Hal ini sesuai pendapat (Uno.2007)  pembelajaran sosial adalah pendekatan pembelajaran yang menekankan hubungan individu dengan masyarakat atau orang lain, yaitu memfokuskan pada peningkatan kemampuan individu dalam berhubungan dengan orang lain, dalam proses demokratis, dan bekerja produktif.
Pembelajaran sosial terdiri dari tiga model pembelajaran, yaitu (1) model pembelajaran bermain peran, (2) model pembelajaran simulasi sosial, dan (3) model pembelajaran telaah atau kajian yurisprodensi. Model pembelajaran bermain peran memungkinkan siswa menciptakan analogi otentik ke dalam permasalahan kehidupan nyata, bermain peran mendorong siswa meng-ekspresikan perasaannya, dan melibatkan sikap, nilai dan keyakinan serta melibatkan kesadaran spontan yang disertai analisis.
Model pembelajaran bermain peran, disengaja dipilih karena disesuaikan dengan materi pelajaran dengan KD: Mampu bertelepon dengan kalimat yang efektif dan bahasa yang santun. Belajar dengan pendekatan ini diharapkan siswa akan mampu menumbuhkembangkan potensi intelektual, sosial, dan emosional secara matang, arif, dan dewasa. Selain itu, mereka juga akan terlatih untuk mengemukakan gagasan dan perasaan secara cerdas dan kreatif, serta mampu menemukan dan menggunakan kemampuan analistis dan imajinatif yang ada di dalam dirinya dalam menghadapi berbagai persoalan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari.
Siswa juga akan mampu berkomunikasi secara lisan, efektif, dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku. Dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan. Mampu menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara.

D.  Rumusan Masalah:
Apakah pembelajaran kooperatif metode bermain peran dapat meningkatkan kemampuan berbicara bertelepon dengan kalimat efektif dan santun siswa kelas VII C SMP 2 Kudus semester II tahun pelajaran 2011/2012?
E.   Tindakan dan Alasannya
1.      Tindakan yang dilakukan: Pendekatan Pembelajaran Kooperatif  Metode Bermain Peran
2.      Alasan memakai metode tersebut:
Agar dapat menarik siswa untuk menstimulusi diskusi tentang nilai dan sikap, dapat bekerjasama,  siswa juga dapat memerankan diri sendiri saat bertelepon di hadapan teman-temannya
F.   Rumusan Tujuan PTK
1.      Memerikan peningkatan kemampuan menggunakan kalimat yang efektif dan santun dalam bertelepon melalui strategi pembelajaran kooperatif dengan metode bermain peran pada siswa kelas VII C SMP 2 Kudus semester II tahun pelajaran 2011/2012.
G.  Mengapa PTK tersebut perlu dilakukan!
1.      SMP  2 Kudus adalah salah satu SMP RSBI di Kabupaten Kudus.
2.      Siswa kelas VII C sebagian besar pengguna telepon.
3.      Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP 2 Kudus diajarkan di kelas VII-IX dengan menggunakan KTSP.
4.      KD yang diteliti terdapat di kelas VII semester II termasuk pada aspek berbicara.
5.      KD: Mampu bertelepon dengan kalimat yang efektif dan bahasa yang santun, merupakan KD yang menerapkan sikap/karakter bangsa.
6.      KD: Mampu bertelepon dengan kalimat yang efektif dan bahasa yang santun, perlu dikuasai oleh siswa agar siswa mampu menelepon dengan bahasa yang efektif dan santun dalam situasi dan kondisi yang harus diperhitungkannya.
7.      Dalam pembelajaran KD tersebut, siswa kurang aktif dan tidak responsif, hanya sekedar melakukan praktik bertelepon.
8.      Terjadi anggapan bahwa bertelepon hanya sekedar berkomuniukasi.
9.      Karena itu masalah itu harus dikuasai.
H.   Penyebab Terjadinya Masalah
1.      Rendahnya aktivitas siswa dalam pembelajaran KD tersebut disebabkan oleh strategi pembelajaran yang kurang bervariasi.
2.      Tidak digunakan media yang relevan dan kurang menarik siswa.
3.      Tidak adanya interaksi multiarah, dan siswa tidak diberi kesempatan untuk lebih kreatif.
4.      Tugas-tugas pembelajaran kurang memberikan kesempatan dan tantangan kepada siswa untuk berfikir kreatif.
5.      Sumber pelajaran hanya buku paket, tidak ada sumber pembelajaran lain yang inovatif.
I.     Rancangan Tindakan
1.      Untuk mengatasi masalah pembelajaran, dipilih strategi pembelajaran kooperatif metode bermain peran.
2.      Pembelajaran metode bermain peran ini sangat tepat untuk membelajarkan siswa untuk kompetensi dasar mampu bertelepon dengan kalimat yang efektif dan bahasa yang santun.
3.      Alasan pemilihan metode ini adalah (a) siswa dapat berkelompok dan lebih bersahabat, saling membantu dalam memecahkan masalah, (b) siswa lebih produktif, (c) siswa menemukan solusi dalam bertelepon, dan (d) siswa dapat lebih percaya diri tampil di depan kelas.
4.      Dengan strategi tersebut, diharapkan siswa dapat melakukan pembicaraan yang efektif dan santun dalam bertelepon.
J.     Manfaat Hasil PTK
1.      Bagi guru dapat memperkaya wawasan dan pengalaman dalam mengatasi masalah pembelajaran yang terjadi di kelas. PTK juga memberikan pengalaman kepada guru yang bersangkutan dalam menyusun dan mengembangkan karya ilmiah, khususnya dalam membuat laporan penelitian.
2.      Bagi guru lain, PTK ini dapat memberikan masukan dan wawasan tentang cara dan strategi untuk mengatasi masalah pembelajaran di kelas.
3.      Bagi siswa penelitian tindakan kelas ini akan mendorong siswa mencapai prestasi yang lebih baik dan meningkatkan minat belajar.
4.      Bagi orang tua siswa, hasil PTK dapat memberikan masukan yang berharga tentang prestasi belajar dan sikap perilaku/karakter anaknya, sehingga membantu pembinaan akhlak anaknya.
5.      Bagi pembaca menambah wawasan pengetahuan tentang strategi pembelajaran Bahasa Indonesia.
6.      Bagi penentu kebijakan kependididkan, hasil PTK semoga dapat memberi masukan yang berharga, terutama dalam pembinaan akademik bagi guru dan siswa demi peningkatan mutu proses dan hasil belajar.
K.  Kajian Pustaka
Lampiran Peraturan Mentri Pendididkan  Nasional Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, khususnya tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran Bahasa Indonesia SMP/MTs secara eksplisit dinyatakan bahwa bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi.
1.       Pengertian Keterampilan Berbicara
Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik agar dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia, tujuan pembelajaran bahasa Indonesia adalah agar anak didik mempunyai kemampuan (1) berkomunikasi secara aktif dan efisien sesuai etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis; (2) menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara; (3) memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan; (4) menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual serta kematangan emosional dan sosial; (5) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperluas budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; dan (6) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Ruang lingkup pembelajaran bahasa Indonesia mencakupi komponen kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek-aspek:
(1)               Mendengarkan;
(2)               Berbicara;
(3)               Membaca; dan
(4)               Menulis.
Berdasarkan pernyataan di atas ditegaskan bahwa keterampilan berbicara merupakan salah satu aspek kemampuan berbahasa. Pembelajaran aspek keterampilan berbicara pada silabus pelajaran bahasa Indonesia kelas VII semester II meliputi;
1.    Berbicara: Mengungkapkan pikiran, perasaan, informasi, dan pengalaman melalui kegiatan menanggapi cerita dan telepon, dan
2.    Berbicara sastra: Mengungkapkan tanggapan terhadap pembacaan cerpen.
Peserta didik diharapkan tidak hanya mempelajari keterampilan berbicara dari tataran kognitif saja, tetapi juga tataran afektifnya. Bahasa sebagai alat komunikasi digunakan melalui kegiatan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Kegiatan yang paling praktis dan taktis untuk melakukan komunikasi ialah berbicara. Di mana saja, kapan saja, dan siapa saja berbicara untuk berkomunikasi. Bahkan terhadap bayi yang belum mampu berbahasa pun orang menyapa dengan bahasa. Bahkan menurut Soenardji (1991) difinisi bahasa yang dirumuskan sebagai alat komunikasi mencakup ranah pengertian yang lebih luas, yakni manusia dan binatang. Hal ini menunjukkan betapa bahasa sebagai alat komunikasi terutama aspek berbicara menjadi hal yang penting, karena bayi yang baru lahir disapa dengan bahasa verbal, begitu juga binatang.
Kegiatan berbicara diawali dari suatu pesan yang harus dimiliki pembicara yang akan disampaikan kepada penerima pesan, agar penerima pesan dapat menerima atau memahami isi pesan itu. Dalam menyampaikan pesan seseorang menggunakan suatu media atau alat yaitu bahasa, dalam hal ini bahasa lisan.
Seorang yang akan menyampaikan pesan tersebut mengharapkan agar penerima pesan dapat memahaminya. Pemberi pesan disebut juga pembicara dan penerima pesan disebut penyimak atau pendengar. Hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam menyampaikan isi pikiran dan perasaan, menyampaikan suatu informasi, ide atau gagasan serta pendapat atau pikiran dengan suatu tujuan. Peristiwa proses penyampaian pesan secara lisan seperti itu disebut berbicara. Dengan rumusan lain dapat dikemukakan bahwa berbicara adalah keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Anton M. Moeliono, dkk., 1998:114) dinyatakan bahwa berbicara adalah berkata; bercakap; berbahasa; melahirkan pendapat dengan perkataan, tulisan, dan sebagainya atau berunding.
Guntur Tarigan (1983 :15) berpendapat bahwa “ berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan”.
Sedangkan sebagai bentuk atau wujudnya berbicara disebut sebagai suatu alat untuk mengomunikasikan gagasan yang disusun dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan sang pendengar atau penyimak. Jadi, pada hakikatnya berbicara merupakan ungkapan pikiran dan perasaan seseorang dalam bentuk bunyi-bunyi bahasa. Kemampuan berbicara adalah kemampuan mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Pendengar menerima pesan atau informasi melalui rangkaian nada, tekanan, dan penempatan persendian.
Tujuan atau harapan pembicaraan sangat tergantung dari keadaan dan keinginan pembicara. Secara umum tujuan pembicaraan adalah sebagai berikut:
a. mendorong atau menstimulasi,
b. meyakinkan,
c. menggerakkan,
d. menginformasikan, dan
e. menghibur.
2. Jenis – Jenis Kegiatan Berbicara
Berbicara terdiri atas berbicara formal dan berbicara informal. Berbicara informal meliputi bertukar pikiran, percakapan, penyampaian berita, bertelepon, dan memberi petunjuk. Sedangkan berbicara formal antara lain, diskusi, ceramah, pidato, wawancara, dan bercerita (dalam situasi formal). Pembagian atau klasifikasi seperti ini bersifat luwes. Artinya, situasi pembicaraan yang akan menentukan keformalan dan keinformalannya.
3.    Telepon Sebagai bagian dari Keterampilan Berbicara
Glabalisasi informasi membuat dunia menjadi datar bagaikan selembar kertas, sehingga apa yang tarjadi dalam suatu belahan dunia akan sedemikian cepat berpengaruh terhadap belahan dunia lain. Untuk itu setiap individu sangat membutuhkan informasi dan layanan komunikasi yang prima. Telepon adalah media yang dibutuhkan untuk menjawab globalisasi informasi tersebut, sejak ditemukan telepon oleh Abraham Bell pada tahun……..samapai era telepon seluler sekarang ini.
Bertelepon merupakan kegiatan berbicara langsung yang dihubungkan dengan peralatan telepon tanpa tatap muka. Hal ini sesuai pendapat Karyanto (2004) bahwa, hubungan dengan telepon termasuk bentuk komunikasi tidak langsung antara komunikan dan komunikator tetapi  diperantarai dengan satu rangkainan elektronik yang disebut pesawat telepon. Meskipun tidak bertatap muka secara langsung berbicara melalui telepon memiliki kode etik tersendiri, antara lain:
1.         Membuka dengan mengucapkan salam, memperkenalkan diri, dan menyebutkan nama orang yang akan diajak bicara.
2.         Menyampaikan isi pembicaraan secara singkat dan jelas.
3.         Mengakhiri pembicaraan dengan mengucapkan terima kasih dan mengucapkan salam.
3.1 Cara bertelepon yang efektif dan sopan:
1.    Pastikan nomor telepon yang dituju sudah benar.
2.    Pastikan waktu bertelepon dengan tepat, jangan bertelepon ketika orang sedang bekerja, belajar, dan atau waktu tidur.
3.    Sebelum menelepon tentukan topik pembicaraan, agar pembicaraan lebih fokus/terarah.
4.    Jika terjadi salah sambung, sampaikan permintaan maaf.
5.    Hindari pemakaian kata-kata e…ehm…, anu…, apa ya…, untuk mengefektifkan durasi bertelepon.
6.    Tidak perlu takut, grogi, dan ragu-ragu menyampaikan pesan/informasi.
7.    Gunakan kata-kata yang santun sehingga tidak menyinggung perasaan orang lain.
8.    Menyimak pembicaraan dengan penuh perhatian dengan memberi isyarat kata-kata tertentu. Jangan menyela sebelum pembicaraan selesai.
9.    Awali dan akhiri pembicaraan dengan salam. Misalnya, assalamualaikum, selamat pagi, wasalamualaikum.
3.2 Bertelepon dengan Bahasa yang Efektif:
Menggunakan kalimat yang singkat, jelas, dan tepat dalam menyampaikan informasi. Sedangkan kalimat yang singkat adalah kalimat yang penggunaan kosakatanya hemat, kalimat jelas yaitu kalimat yang tidak menimbulkan peanafsiran ganda. Adapun kalimat yang tepat memudahkan orang untuk memahami makna kalimat tersebut secara tepat seperti yang dimaksudkan.

4.      Pendekatan Pembelajaran Kooperatif Metode Bermain Peran
A.       Pendekatan Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang menuntut siswa memiliki tanggung jawab yang lebih tinggi atas pembelajaran terhadap mereka sendiri. Pengertian ini seolah-olah guru berkurang arti perannya di kelas, guru hanya sebagai fasilitator dan pengamat dalam pembelajaran. Desentralisasi pengambilan keputusan dan pemberian kuasa kepada siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Kamaroesid (2009) model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang dilakukan dengan pendekatan yang berpusat pada kelompok dan siswa untuk pengajaran dan pembelajaran di kelas.
Pembelajaran kooperatif disebut juga pembelajaran berbasis sosial. Kooperatif adalah  Kegiatan yang dilakukan dalam kelompok demi kepentingan bersama (Prasetyo, 2011).  Pembelajaran kooperatif, siswa dikelompokkan menjadi beberapa kelompok dengan anggota kelompok yang kecil. Setiap anggota harus bisa bekerja sama, saling membantu memahami materi pelajaran dan belajar belum selesai jika salah satu kelompok belum menguasai bahan pelajaran. Jauhar (2011) mengemukakan bahwa, pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar yang siswanya dikelompokkan menjadi kelompok-kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam pembelajaran kooperatif, setiap anggata saling kerja sama dan jika ada anggota yang belum menguasai materi pelajaran dikatakan belum selesai belajar.
Sehubungan dengan hal itu Salvin (dalam Jauhar, 2011:53) menjelaskan:
Pada pembelajaran kooperatif diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerja sama dengan baik di dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar yang baik, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan diajarkan. Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan.
                  
Dari pernyataan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran sosial, siswa memiliki peran yang tinggi dalam pembelajaran karena berperan sangat dominan, sedangkan guru hanya memfasilitasi materi pelajaran sesuai KD yang diajarkan.
Chatib (2011) menyebutkan bahwa, gurunya manusia adalah sang fasilitator. Hal ini dimaksudkan guru mengajar presentasinya 30% setiap pertemuan, yang 70% adalah aktivitas siswanya. Guru memberikan sedikit pengetahuan sehingga siswa tahu tentang apa dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan sesuatu sehingga menjadi bisa apa. Dengan kata lain guru tidak hanya memberikan teori-teori/pengetahuan tetapi harus lebih banyak memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan atau mempraktikkan banyak hal yang dibutuhkan bagi kehidupan siswanya.
Dari paparan di atas, guru hanya sebagai fasilitator dan sebagai pengamat. Karena guru perlu mengetahui kapan kelompok belajar itu sungguh-sungguh, dan membantu kelompok yang tidak fokus pada tujuan yang ingin dicapai. Sehubungan dengan itu, Kamaroesid (2009) menjelaskan “…peran guru adalah memfasilitasi kelompok-kelompok untuk menyusun tujuan mereka serta mengarahkan upaya kelompok dan individual untuk mencapai tujuan tersebut.” Begitu juga guru sebagai pengamat, Kamaroesid (2009:48) menjelaskan sebagai berikut:
     Peran guru dalam model pembelajaran kooperatif adalah sebagai pengamat. Pengamatan ini diperlukan untuk mengetahui kapan kelompok-kelompok itu belajar sungguh-sungguh dan kapan kelompok itu bekerja pada hal-hal yang tidak produktif. Dengan adanya pengamatan ini, guru akan dapat membantu kelompok yang tidak fokus pada tujuan yang ingin dicapai kelompoknya. Guru tidak boleh hanya sekedar memberi tahu kelompok bagaimana menyusun ulang atau apa yang harus dilakukan selanjutnya.

B.       Model Pembelajaran Bermain Peran
Model pembelajaran bermain peran merupakan bagian dari model pembelajaran sosial, pembelajaran yang menekankan hubungan individu dengan masyarakat atau orang lain. Model bermain peran dipelopori oleh George Shaftel.
Uno (2007:25) mengemukakan bahwa:
Pertama, dibuat berdasarkan asumsi bahwa sangatlah mungkin menciptakan analogi otentik ke dalam situasi permasalahan kehidupan nyata. Kedua, bahwa bermain peran dapat mendorong siswa mengeks-presikan perasaan dan bahkan melepaskan. Ketiga, bahwa proses psikologis melibatkan sikap, nilai, dan keyakinan (belief) kita serta mengarahkan pada kesadaran melalui keterlibatan: spontan yang disertai analisis.

Berdasarkan pernyataan di atas pembelajaran bermain peran membantu siswa dalam menemukan jati diri di dunia sosial dan memecahkan problema dengan bantuan kelompok.  Belajar percaya diri, mengidentifikasi kelebihan dan kekurangannya. Di samping itu siswa belajar adanya peran-peran yang berbeda dan memikirkan perilaku dirinya dan orang lain.
Keberhasilan model pembelajaran bermain peran tergantung dari kualitas permainan peran beserta analis yang menyertainya. Tergantung pula bagaimana persepsi siswa tentang peran yang dimainkan terhadap situasi nyata.
Prosedur bermain peran, meliputi:
(1)     Pemanasan (warming up), guru memperkenalkan siswa pada permasalahan yang disadari sebagai suatu hal yang semua orang perlu mempelajari dan menguasai;
(2)     Memilih pemain (partisipan), guru dan siswa membahas karakter dari setiap pemain dan siapa yang akan memainkannya;
(3)     Menata panggung, penataan panggung dapat sederhana dapat pula dibuat kompleks. Penataan yang sederhana adalah membuat skenario, siapa yang muncul dulu kemudian diikuti siapa. Sedang penataan panggung yang kompleks meliputi, properti, aksesoris, kostum dan lain-lain. Penataan panggung sederhana lebih diutamakan karena intinya bukan kemewahan panggung, tetepi proses bermain peran itu sendiri;
(4)     Guru mununjuk siswa sebagai pengamat, siswa yang ditunjuk sebagai pengamat harus terlibat aktif dalam bermain peran karena juga mendapat tugas peran dalam bermain peran;
(5)     Permainan peran dimulai, permainan dilakukan secara spontan, pada awalnya tentu ada siswa yang bingung memerankan perannya atau tidak sesuai dengan peran yang seharusnya ia lakukan. Guru harus menghentikan dan melanjutkan ke langkah berikutnya;
(6)     Guru bersama siswa mendiskusikan permainan tadi dan melakukan evaluasi terhadap peran-peran yang dilakukan, usulan perbaikan akan muncul, mungkin ada siswa meminta tukar peran dan sebagainya bahkan alur cerita akan terjadi perubahan;
(7)     Permaianan peran ulang, permainan kedua akan berjalan lebih baik siswa akan memerankan perannya masing-masing sesuai skenario;
(8)     Diskusi dan evaluasi, diarahkan pada realitas. Peran dan dialog yang tidak logis dibahas serta dievaluasi dalam diskusi; dan
(9)     Siswa diajak untuk berbagi pengalaman tentang tema permainan peran yang telah dilakukan dan dilanjutkan dengan membuat simpulan.
5.      Metode Penelitian atau Rencana Penelitian
5.1     Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di SMP 2 Kudus, jalan jendral Sudirman no. 82 Kudus. Tindakan penelitian ini dikenakan pada siswa kelas VII C semester II tahun pelajaran 2011/2012. PTK dirancang untuk kurun waktu lima bulan (Maret 2012 – Juli 2012. Pembuatan rencana tindakan berdasarkan refleksi yang ditulis pada proposal Maret s.d. April 2012. Pelaksanaan tindakan penelitian  untuk mengambil data dilakukan pada semester genap (April 2012 – Mei 2012) dengan jam pelajaran 2 jam pertemuan.
5.2     Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah siswa kelas VII C SMP 2 Kudus semester II tahun pelajaran 2011/2012 dengan jumlah siswa 26 orang. Nilai rapor semester I mereka tergolong tinggi jika dibandingkan dengan nilai rata-rata rapor dengan mata pelajaran yang sama dari kelas lain. Kelas VII C adalah kelas di mana rencana peneliti mengajar.   Terdiri dari siswa laki-laki      orang, siswa perempuan ……orang.
5.3     Variabel yang diselidiki
Variabel yang akan diungkap dalam penelitian ini  ada dua, yaitu (1) variabel pembelajaran bertelepon dengan pendekatan pembelajaran kooperatif, dan (2) variable keterampilan berbicara dengan bahasa yang efektif dan santun. Variabel kemampuan keterampilan berbicara yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan bertelepon dengan bahasa yang efektif dan santun.
5.4     Rencana Tindakan
       Prosedur penelitian tindakan kelas akan dilakukan terdiri dari dua siklus penelitian. Tiap-tiap siklus penelitian terdiri atas tahap perencanaan, implementasi tindakan, observasi dan interpretasi, serta analisis dan refleksi.
a.     Tahap Persiapan
Sebelum tindakan dikenakan pada subjek didahului denga refleksi, antara lain:
(1)     Untuk mengetahui masalah nyata yang dihadapi oleh guru.
(2)     Untuk mengajak siswa merenungkan masalah-masalah yang menurut kepentingannya dan kemendesakannya harus segera ditangani;
(3)     Untuk mengecek atas kebenaran akan adanya masalah, dan
(4)     Untuk mengidentifikasi kemungkinan penyebab masalah yang dihadapi siswa.
b.    Tahap Perencanaan
(1)     Menyusun rencana pembelajaran dengan memperhatikan rambu-rambu silabus Bahasa Indonesia;
(2)     Menyusun rancangan tindakan dalam bentuk satuan-satuan pembelajaran;
(3)     Menyusun pedoman pengamatan dan monitoring;
(4)     Menyusun rancangan evaluasi.
c.     Tahap Implementasi Tindakan
Tindakan yang direncanakan untuk mengatasi masalah yang dihadapi adalah penerapan pembelajaran pendekaan kooperatif dengan fase-fase pembelajaran sebagai berikut:
(1)     Menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan memotivasi siswa belajar;
(2)     Menyajikan informasi bertelepon dengan jalan cara demontrasi atau lewat tayangan LCD;
(3)     Membentuk dan membantu kelompok agar melakukan transisi menelepon dengan bahasa yabg efektif dan santun;
(4)     Membimbing kelompok saat melakukan tugas;
(5)     Mengevaluasi hasil belajar kelompok dengan mempresentasikan (bermain peran) betelepon dengan bahasa yang efektif dan santun;
(6)     Memberi penghargaan kepada kelompok yang mendapatkan hasil yang baik.
d.   Tahap Observasi dan Interpretasi
Observasi ini akan diberlakukan baik kepada peneliti(guru) maupun kepada siswa, mencatat hal-hal yang terjadi dan dirasakan selama pemberian tindakan dalam bentuk jurnal. Kepada pemberi tindakan dan siswa diwawancarai, dikhususkan pada siswa yang aktif, yang mengalami kesulitan belajar, yang tidak memperhatikan, dan yang melakukan aktivitas lain.
e.     Tahap Analisis dan Refleksi
Hasil observasi, jurnal siswa, hasil wawancara, dan hasil penyekoran kemampuan berbicara menggunakan telepon siswa dilakukan refleksi, jika terjadi kekurangan dijadikan bahan pertimbangan siklus berikutnya. Sedangkan bila terjadi peningkatan dipertahankan atau ditingkatkan.
5.5      Data dan Cara pengumpulannya
a.    Sumber Data
Sumber data penelitian berasal dari seluruh tindakan penelitian, siswa yang melaksanakan proses pembelajaran bertelepon dengan kalimat yang efektif dan bahasa santun dengan pendekatan pembelajaran kooperatif dan model bermain peran.
b.    Jenis Data
(1)     Data kuantitatif adalah data berupa skor kemampuan bertelepon siswa dengan rentang nilai 10 s.d. 100;
(2)     Data kualitatif berupa diskripsi tentang hasil observasi, jurnal siswa, dan wawancara yang telah dikelompok-kelompokkan berdasarkan aspek yang diobservasi ditulis dalam jurnal siswa dan diperoleh dari wawancara.
c.     Alat pengambil Data
(1)     Lembar observasi
(2)     Lembar jurnal yang dibuat siswa
(3)     Hasil wawancara
d.    Teknik Pengambilan Data
(1)     Teknis tes digunakan untuk mendapatkan skor kemampuan bertelepon baik saat siklus I maupun siklus II;
(2)     teknis nontes menggunakan lembar observasi, jurnal siswa, catatan siswa yang menonjol dalam pelaksanaan pembelajaran.
e.     Teknik Analisis Data
(1)     Data kuantitatif menggunakan diskriptif persentase, nilai dirata-rata untuk ditemukan keberhasilan individu dan keberhasilan klasikal sesuai dengan target yang ditetapkan;
(2)     Data kualitatif berasal dari observasi, jurnal, wawancara diklasifikasikan sesuai aspek-aspek yang dijadikan fokus analisis, dikaitkan dengan data kuantitatif untuk didiskripsikan keberhasilan pembelajaran yang ditandai dengan semakin meningkatnya kemampuan bertelepon siswa.
f.     Indikator Kinerja
Keberhasilan peningkatan kemampuan bertelepon siswa diukur adanya peningkatan kemampuan bertelepon siswa baik secara individu maupun klasikal. Keberhasilan individu ditentukan nilai minimal yang dicapai siswa adalah 80, sedangkan keberhasilan klasikal adalah siswa yang mendapat nilai 80 setidaknya berjumlah 85% dari seluruh siswa yang diteliti. 

 

Daftar Pustaka
Chatib, Munif. 2011.Gurunya Manusia. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Jauhar, Mohammad. 2011. Implementasi Paikem dari Behavioristik sampai konstruktivisme. Jakarta: Prestasi Pustakaraya
Kamaroesid, Herry. 2009. Menulis Karya Ilmiah Untuk Jabatan Guru. Jakarta: Gaung Persada.
Karyanto, Teguh Budi. 2004. Berkomunikasi dengan Pesawat Telepon. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional.
Prastyo, Angga Teguh. 2011. Kamus Istilah Pendidikan. Malang: Aditya Media Publishing.
Silberman, Melvin L. 2007. Active Learning. Terjemahan oleh Muttaqin Raisul, 2010. Bandung: Nuansa Cindekia.
Soenardji. 1991. Sendi Dasar Linguistika. Semarang: IKIP Semarang Press.
Subyantoro. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Semarang: Rumah Indonesia.
Suyitno, Imam. 2011. Karya Tulis Imiah. Bandung: PT Refika Aditama.
Uno, Hamzah B. 2007. Model Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.